Nyanyian pepohonan bergema melewati celah sempit lereng gunung yang selama ini dijauhi manusia. Penduduk sekitar menamakan celah tersebut Celah Yang Bernyanyi. Celah tersebut terletak di sebuah pegunungan yang sangat gersang, bahkan lalat pun tak mau terbang melewatinya. Beberapa hewan yang mencoba melewati tempat itu berjasa membantu manusia di masa depan untuk meneliti masa itu, dengan menyelidiki tulang-tulang mereka yang telah menjadi batu. Bahkan tak sedikit yang telah menyatu dengan tanah.
Dari daerah tak berpenghuni itu selalu terdengar nyanyian-nyanyian pilu. Penduduk sekitar menamakan nyanyian itu Tembang Kesedihan. Tembang yang sejatinya tercipta dari kerja sama yang apik antara angin dan semak-semak, serta celah-celah bukit tersebut menjadi satu-satunya pelipur lara bagi alam, sang Ibu Bumi.
Walaupun daerah itu gersang, di sudut yang tak terjangkau oleh sinar matahari, terdapat sebuah pohon yang berwarna hijau. Satu-satunya yang hijau di tempat itu. Penduduk sekitar menamakan pohon tersebut Sang Hijau. Hanya di pohon itulah terdapat gambaran sebuah ekosistem yang ideal: sepasang tupai bersarang di salah satu ranting pohon itu, bertetangga dengan sepasang burung Manyar di ranting yang lainnya. Penghuni pohon tersebut tak kekurangan makanan, karena Sang Hijau menyediakan makanan berupa biji-bijian bagi mereka.
Di sudut yang lain, terdapat gua yang sangat gelap dan tak berujung. Konon gua tersebut menghubungkan dua ujung dunia. Antara barat dan timur, ataupun utara dan selatan. Penduduk sekitar menamakan gua tersebut Gua Penghubung. Benar-benar gelap di gua itu, karena sinar matahari pun merasa takut untuk masuk ke dalam sana.
Tak ada yang tahu batu besar yang ada di “pintu masuk” wilayah itu berasal. Bahkan orang yang paling tua dan paling pandai pun tak mengetahuinya. Penduduk sekitar menamakan batu itu Batu Awal. Batu besar yang seolah menghalangi siapapun yang akan masuk ke daerah itu.